News dan Hoax Disoal di DPR

JAKARTA – Dikarenakan media mainstream belakangan tak lagi dipercaya masyarakat. Untuk mendapatkan informasi akhirnya masyarakat mencari media alternatif melalui media sosial (medsos) atau media online. Agar masyarakat tak lagi mendapatkan berita hoax, Kominfo pun memblokir sejumlah acount medsos atau media online.

Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari menegaskan, masyarakat Indonesia harus mendapat informasi yang benar, bukan berita bohong atau hoax. “Awalnya masyarakat mempercayai media mainstraim, tetapi kepercayaan itu mulai bergeser, mulai berkurang trust-nya kepada media mainstream,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “News or Hoax” di Media Center/Pressroom DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (10/1).

Juga hadir sebagai pembicara pada diskusi tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo. Lebih lanjut, politisi PKS ini pun mengingatkan, menyampaikan berita bohong sama saja berbuat dosa. Penyebab tak lagi dipercayainya media mainstream dikarenakan masyarakat kini menerima berita hoax sesuai seleranya.

“Jangan sampai masyarakat justru menikmati berita bohong. Sebetulnya media dengan wartawan profesional, memiliki kompetensi disambut gembira oleh masyarakat,” papar Kharis. Terkait soal UU ITE, Abdul Kharis mengatakan, DPR ketika merevisi UU tersebut justru berangkat dari keinginan supaya tidak terlalu mudah menutup media.
Diketahui, media mainstream adalah media massa dengan otoritas dan memilki organisasi yang jelas terstruktur dan dapat dipertanggungjawabkan, karena memiliki badan hukum, lembaga pers yang jelas dan terbuka. Ciri khusus media mainstream adalah informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan.

Menyoal hal ini, Yosep Adi Prasetyo mengatakan, selama 10 tahun ini Dewan Pers telah mengaudit perusahaan pers. “Semua orang bisa membuat perusahaan pers tetapi harus memiliki badan hukum,” tegas Yosep yang akrab disapa Stanley itu. Dia menyerukan,selain harus terdaftar di Dewan Pers, perusahaan pers harus terdaftar juga di Kominfo.

“Perusahaan pers juga harus melatih wartawannya. Media tidak boleh lagi menggunakan nama dan simbol negara seperti KPK (Komisi Pemberatasan Korupsi) dan BIN (Badan Intelejen Nasional),” sambung Stanley. Tak diperbolehkan media menggunakan nama lembaga negara, urai Stanley, karena KPK diplesetkan mejandi koran penyelidikan kasus dan BIN menjadi berita investigasi nasional.

Kata dia lagi, media mainstream sudah tidak lagi dapat dipercaya masyarakat karena sering memberitakan hal yang berbeda sementara sumbernya sama. “Contoh berita hari ini ada berita yang menyebutkan perekonomian Indonesia membaik tetapi ada berita di media mainstream lainnya yang memberitakan hal sebaliknya,” papar Stanley lagi.
Lanjut dia, dengan kondisi ini masyarakat mencari alternatif lain dengan mencari sumber berita lain, yakni di media sosial. “Lebih dipercaya berita berantai saya sebutkan saja dari WA. Misalnya di group WA kalau ada berita yang disebarkan dengan sumbernya saya, Ketua Dewan Pers pasti akan dipercaya,” ucap Stanley.

Sementara itu, Rudiantara mengatakan, Kominfo bersama Dewan Pers menyepakati kontrol terhadap media massa mainstream termasuk situs-situs yang bertentangan dengan nilai-nilai karya jurnalistik. Hal itu dilegalisasi melalui nota kesepahaman (MoU) Kominfo dengan perusahaan pers seperti 10 televisi untuk berkomitmen melaksanakan kaidah-kaidah jurnalistik yang independen.

Mengenai pemberitaan yang menyebutkan ada 11 media online Islam yang di blokir Kominfo, dia menyangkalnya. “Yang diblokir kontennya bukan situsnya. Jadi tidak benar diberitakan ada 11 situ media online Islam yang diblokir. Waktu itu Humas saya yang plt (pelaksana tugas) saat ditanya apa benar ada 11 situs Islam yang diblokir, lalu dia jawab iya. Karena dia belum terbiasa berhadapan dengan wartawan,” turur Rudiantara. (OSS)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*